PETA NARASI – Indonesia mengikuti jejak Australia, yang menerapkan pembatasan akses media sosial (medsos) untuk anak. Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid, menyebut kebijakan ini adalah bentuk perlindungan terhadap sekitar 80 juta anak di Tanah Air dari paparan industri digital yang semakin agresif menyasar usia muda. Hal itu disampaikannya dalam acara Puncak Anugerah Jurnalistik di Gedung Sapta Pesona, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (19/11).
“Kita tengah memotong akses dari industri yang masuk kepada 80 juta kurang lebih anak-anak Indonesia. Artinya mungkin tidak semua senang dengan aturan ini, karena sekali lagi kita memutus akses dari industri untuk masuk ke 80 juta anak Indonesia yang sesuai undang-undang adalah anak-anak di bawah 18 tahun,” ujar Meutya.
Latar Belakang: Jejak Australia
Australia menjadi pionir dengan merumuskan Undang‑Undang Online Safety Amendment (Social Media Minimum Age) Act 2024, yang melarang anak-anak di bawah 16 tahun membuat akun di platform media sosial seperti Instagram, TikTok, Facebook, Snapchat, dan X (Twitter).
Menurut peraturan tersebut, platform akan bertanggung jawab untuk memblokir pendaftaran akun baru dari pengguna di bawah umur, dengan ancaman denda hingga puluhan juta dolar Australia jika tidak patuh. Aturan ini direncanakan mulai berlaku secara penuh pada 10 Desember 2025. Selain itu, platform YouTube juga akan dibatasi: anak-anak tetap bisa menonton konten, tetapi tidak boleh memiliki akun yang memungkinkan interaksi atau unggah konten.
Rencana Indonesia
Menanggapi langkah Australia, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyatakan sedang mengkaji wacana pembatasan usia dalam penggunaan media sosial. Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, menyebut bahwa “Australia sendiri sudah melakukannya, jadi ini lagi kita kaji.”
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menegaskan bahwa perlindungan anak di ruang digital menjadi prioritas pemerintah. Ia menyatakan bahwa Indonesia sedang mempelajari regulasi Australia, sekaligus mengkaji model batasan usia dan pembatasan konten yang sesuai dengan kondisi lokal.
Landasan Regulasi: PP Tunas
Salah satu payung hukum yang menjadi rujukan adalah Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas). Regulasi ini menjadi dasar bagi rencana penetapan batasan usia dan pengaturan konten bagi anak-anak yang menggunakan sistem elektronik, termasuk media sosial.
Dalam wacana awal, pemerintah mempertimbangkan pembagian kelompok usia anak secara lebih detail. Sebagai contoh, rentang usia 13–15 tahun mungkin tetap diperbolehkan menggunakan media sosial, tetapi dengan kontrol dari orang tua atau sistem persetujuan orang tua (“veto rights”). Dengan demikian, pembatasan tidak bersifat absolut, melainkan disesuaikan dengan tahap perkembangan anak.
Reaksi dari Berbagai Pihak
Usulan ini mendapat beragam tanggapan. Di satu sisi, sejumlah anggota DPR RI sudah menyatakan akan membahas inisiatif ini lebih dalam. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa mereka perlu mengevaluasi dampak positif dan negatifnya.
Sementara itu, pengamat dan organisasi advokasi digital mengingatkan agar kebijakan semacam ini tidak justru membatasi hak ekspresi anak. Dalam analisisnya, Kompas menyebut bahwa meski banyak laporan dampak negatif media sosial, efektivitas pembatasan usia menjadi pertanyaan besar. Mereka menyarankan agar pemerintah tidak hanya fokus pada larangan, tetapi juga memperkuat literasi digital dan kontrol orang tua sebagai komplementer.
Tantangan dan Catatan Implementasi
Penerapan aturan semacam ini tentu bukan tanpa tantangan. Pertama, verifikasi usia pengguna menjadi masalah teknis dan privasi: bagaimana platform global seperti TikTok atau Instagram bisa memastikan seorang pengguna memang berusia di atas batas minimal tanpa melanggar privasi? Selain itu, sistem pengawasan dan sanksi harus dirancang agar tidak justru membatasi kebebasan berekspresi atau memberi alat kontrol berlebihan pada pemerintah.
Kedua, ada potensi transisi pengguna anak ke platform yang dianggap “lebih longgar” atau tidak diatur ketat, sehingga efek negatif bisa justru berpindah saluran. Kritikus juga menyebut bahwa larangan terlalu keras bisa mendorong “akses gelap” atau penggunaan lewat akun orang tua yang justru sulit diawasi.
Potensi Manfaat
Meski demikian, manfaat dari pembatasan usia bisa signifikan, terutama dalam melindungi anak dari konten berbahaya, misinformasi, dan kecanduan digital. Menteri Meutya menekankan bahwa digital bukan hanya soal hiburan, tetapi ruang yang juga bisa berbahaya bagi anak jika tidak diatur dengan baik.
Selain itu, pembatasan usia juga bisa menekan iklan berbahaya, seperti promosi judi online kepada anak-anak, yang menjadi kekhawatiran di Indonesia. Regulasi seperti ini dapat memaksa platform dan pengiklan untuk lebih bertanggung jawab dalam menargetkan audiens di ranah digital.