Pengamat Pertamina Jadi Target Mafia Migas

PETA NARASI – Pengamat energi, Inas Nasrullah Zubir, menyatakan bahwa PT Pertamina tengah menghadapi serangan sistematis dari kelompok mafia migas. Menurut dia, gelombang pengungkapan skandal besar yang menimpa perusahaan pelat merah ini bukanlah kebetulan semata, melainkan bagian dari upaya terkoordinasi untuk melemahkan peran Pertamina di sektor migas hilir.

Inas menyoroti rentetan peristiwa sejak akhir 2024 hingga 2025, termasuk skandal suap melibatkan pejabat elit dan kaburnya Riza Chalid yang belakangan menjadi buronan Kejaksaan Agung. “Ada gelombang perlawanan terhadap Pertamina yang semakin kentara,” ujarnya kepada wartawan. Menurutnya, semua ini menunjukkan bahwa posisi Pertamina sebagai satu-satunya penyalur bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan penugasan (PSO) sedang digoyang.

Ia menambahkan bahwa serangan ini bukan insidental, melainkan memiliki pola dan strategi. “Ini bukan sekadar kritik biasa, melainkan upaya terorganisir untuk mendiskreditkan Pertamina agar perannya di hilir migas bisa dikikis, atau setidaknya dipecah dan diserahkan ke pihak swasta,” tegas Inas. Tuduhan tersebut sangat serius, karena jika benar, berarti ada agenda besar di balik gejolak selama ini.

Salah satu indikasi yang disebut Inas adalah munculnya narasi naratif terkait keluhan sejumlah SPBU swasta terhadap Pertamina. Menurut pengamat ini, sejumlah SPBU swasta menyuarakan keluhan di media dan media sosial tentang masalah harga BBM, keterlambatan pasokan, dan kualitas bahan bakar. “Keluhan itu kemudian diviralkan oleh akun-akun media dan komentator yang dikenal getol mengkampanyekan liberalisasi di sektor migas,” ujarnya. Padahal, Inas mengingatkan, banyak dari keluhan tersebut mengabaikan konteks regulasi.

Inas menggarisbawahi bahwa kewajiban SPBU swasta untuk membeli jenis BBM tertentu dari Pertamina bukanlah keputusan sepihak perusahaan, tetapi diatur oleh regulasi negara. Ia merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 (dan perubahan terakhir melalui Perpres 117/2021), serta keputusan Kementerian ESDM, yang mengenakan kewajiban kepada badan usaha pemegang hak penyalur BBM untuk membeli bahan tertentu (seperti Bio Solar dan Pertalite) dari Pertamina sebagai agen penugasan PSO. Menurut Inas, “di balik keluhan soal harga dan pasokan itu, tersimpan agenda politik-ekonomi besar: liberalisasi sektor migas, mengizinkan swasta langsung impor BBM, dan melemahkan monopoli Pertamina”.

Lebih lanjut, Inas bukan satu-satunya yang menyoroti adanya mafia migas di tubuh Pertamina. Banyak pengamat lain, akademisi, dan tokoh antikorupsi yang sudah lama memperingatkan praktik jahat di industri ini. Contohnya, ekonom energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menuding adanya mafia migas yang melakukan “blending” BBM, yakni mencampur BBM bersubsidi dengan yang non-subsidi, dan menandaskannya sebagai modus korupsi sistemik.

Dalam analisis Fahmy, oknum mafia migas terlibat dalam praktik pengoplosan (blending) Pertalite menjadi Pertamax. Dia menyebut bahwa Pertalite (RON 90) dibeli dengan harga yang seharusnya untuk Pertamax (RON 92), kemudian “di-blending” menjadi Pertamax melalui depot atau storage. Ini, kata Fahmy, sangat merugikan negara karena terjadi manipulasi harga yang mengakibatkan negara membayar lebih.

Lebih parahnya, Fahmy menyebut bahwa oknum-oknum mafia migas bukan hanya berasal dari luar Pertamina, tetapi juga berada di dalam struktur Pertamina sendiri termasuk di Direksi Patra Niaga dan subholding lainnya. “Ada keterlibatan pengambil keputusan internal Pertamina,” ujar Fahmy. Praktik ini, menurut dia, bukan sekadar permainan akal-akalan teknis, melainkan bagian dari jaringan mafia migas yang sudah lama menancapkan akar di sistem migas nasional.

Teguran juga datang dari aktivis seperti Khalid Zabidi, yang menyatakan bahwa publik jangan teralihkan oleh isu pengoplosan BBM semata. Menurut Khalid, isu tersebut hanyalah “bagian kecil dari korupsi besar” yang sesungguhnya menyangkut aliran uang negara dalam skala raksasa. Dia menegaskan bahwa penindakan mafia migas harus fokus pada aspek korupsi besar dan struktural, bukan hanya aspek teknis blending atau oplosan.

Sementara itu, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, organisasi antikorupsi yang memantau tata kelola sumber daya alam, juga menyambut skandal Pertamina ini sebagai momentum untuk reformasi sistemik: “Jangan hanya ganti pelaku, tapi tata ulang seluruh sistem,” demikian kata koordinator nasional PWYP.

Presiden Prabowo Subianto sendiri telah menyatakan komitmennya untuk memberantas mafia migas. Beberapa pengamat menilai bahwa pengungkapan mega korupsi di Pertamina bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan “bersih-bersih” internal perusahaan dan memperkuat ketahanan energi nasional.

Di tengah tekanan publik dan penyelidikan hukum yang semakin intens, Pertamina menyatakan dukungan penuh terhadap proses hukum. Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, menyampaikan bahwa manajemen akan kooperatif dan transparan terhadap penyelidikan Kejaksaan Agung. Sementara itu, Kejaksaan Agung telah menindaklanjuti dengan menetapkan beberapa tersangka, termasuk eksekutif di anak usaha Pertamina dan pihak swasta terkait impor serta manajemen terminal BBM.

Tontonannya jelas: menurut Inas dan sejumlah pengamat, ini bukan sekadar skandal korupsi biasa, melainkan “serangan strategis” untuk melemahkan Pertamina dan membuka ruang bagi pemain swasta menguasai hilir migas. Jika dugaan ini benar, maka dampaknya tidak hanya terhadap Pertamina sebagai perusahaan negara, tapi juga terhadap kedaulatan energi nasional.

By admin