PETA NARASI – Angka kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pelajar di Indonesia masih berada pada level mengkhawatirkan. Data Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri menunjukkan bahwa kelompok usia 15 hingga 19 tahun usia dominan pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) kerap menjadi korban, bahkan pelaku, utama dalam insiden di jalan raya. Para ahli dan praktisi keselamatan jalan sepakat bahwa kerentanan ini disebabkan oleh kombinasi faktor psikologis dan pengabaian terhadap tiga pilar utama keselamatan.
Penjelasan Ahli: Kombinasi Impulsif dan Minim Pengalaman
Dr. Ir. Riza Ramli, seorang pakar keselamatan transportasi dari Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa secara psikologis, otak remaja termasuk pelajar belum sepenuhnya matang, terutama pada bagian korteks prefrontal yang bertanggung jawab atas penilaian risiko, perencanaan, dan pengendalian impuls.
“Fase remaja dicirikan oleh perilaku pencarian sensasi (sensation seeking) dan rendahnya persepsi risiko. Mereka cenderung menganggap remeh potensi bahaya dan ingin mencoba batas kemampuan mereka, termasuk dalam berkendara,” jelas Dr. Riza.
Kerentanan psikologis ini diperparah dengan minimnya pengalaman berkendara yang mumpuni. Banyak pelajar, meskipun sudah memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), belum memiliki jam terbang yang cukup untuk menghadapi situasi darurat di jalan. Apalagi, masih banyak pelajar di bawah umur yang nekat berkendara tanpa SIM, melanggar aturan, dan tidak memahami etika berlalu lintas secara mendalam.
Tiga Hal Paling Diabaikan Pelajar Berdasarkan Data Resmi
Data dari Korlantas Polri dan hasil riset internal lembaga-lembaga keselamatan jalan menunjukkan bahwa ada tiga faktor utama yang secara konsisten diabaikan oleh pelajar Indonesia, yang secara langsung berkontribusi pada tingginya angka kecelakaan:
1. Aturan Kecepatan dan Jarak Aman (Mengejar Waktu)
Faktor paling dominan adalah pelanggaran batas kecepatan. Data menunjukkan bahwa mayoritas kecelakaan tunggal atau tabrakan beruntun yang melibatkan pelajar sering kali dipicu oleh kecepatan tinggi dan kegagalan menjaga jarak aman.
- Pengabaian: Pelajar sering berkendara dalam kondisi terburu-buru, baik untuk mengejar jam sekolah, janji, atau sekadar euforia ngebut bersama teman.
- Implikasi: Kecepatan yang berlebihan sangat mengurangi waktu reaksi. Pada kecepatan 80 km/jam, misalnya, mobil memerlukan jarak pengereman yang jauh lebih panjang daripada kecepatan 40 km/jam. Kegagalan mengukur jarak pengereman ini sering menyebabkan tabrakan belakang atau kehilangan kendali.
2. Fokus dan Distraksi (Penggunaan Gawai dan Kelompok)
Faktor kedua yang menjadi perhatian utama adalah distraksi saat berkendara. Ini termasuk penggunaan ponsel saat mengemudi atau berboncengan dalam jumlah berlebihan (melanggar aturan).
- Pengabaian: Banyak pelajar mengabaikan larangan menggunakan handphone untuk membalas pesan, menelepon, atau bahkan bermain media sosial saat mengemudi. Distraksi lain adalah terlalu asyik berbicara dengan penumpang, terutama saat beramai-ramai.
- Implikasi: Distraksi sesaat dapat berakibat fatal. Menatap layar ponsel selama lima detik pada kecepatan 60 km/jam setara dengan berkendara sejauh lapangan sepak bola dalam keadaan mata tertutup.
3. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dan Kelengkapan Kendaraan
Pengabaian mendasar lainnya adalah kelalaian dalam penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) seperti helm standar SNI dan memastikan kelengkapan teknis kendaraan (rem, lampu, ban).
- Pengabaian: Pelajar kerap menggunakan helm yang tidak memenuhi standar (tidak dikaitkan atau helm fashion tanpa perlindungan yang memadai) atau bahkan tidak menggunakan helm sama sekali untuk jarak dekat. Selain itu, kondisi kendaraan seperti lampu rem yang mati atau ban yang sudah tipis sering diabaikan.
- Implikasi: Helm yang benar adalah satu-satunya perlindungan kritis saat terjadi benturan kepala. Data WHO menunjukkan penggunaan helm yang benar dapat mengurangi risiko kematian hingga 40% dan cedera kepala parah hingga 70%.
Solusi: Kolaborasi Tiga Pilar Keselamatan
Prof. Dr. Budiman, seorang sosiolog yang fokus pada perilaku publik, menekankan bahwa mengatasi masalah ini memerlukan pendekatan holistik, melibatkan tiga pilar utama:
- Keluarga: Orang tua harus menjadi panutan utama dan bertanggung jawab penuh dalam memastikan anak mereka memiliki SIM yang sah, memahami aturan, dan tidak membiarkan anak di bawah umur berkendara.
- Sekolah: Kurikulum keselamatan jalan raya harus diintegrasikan lebih intensif. Sekolah juga perlu memperketat pengawasan terhadap pelajar yang menggunakan sepeda motor atau mobil di lingkungan sekolah.
- Pemerintah dan Penegak Hukum: Peningkatan edukasi, kampanye masif yang menarik bagi remaja, dan penegakan hukum yang konsisten dan tegas terhadap pelanggar usia muda (terutama mereka yang tidak memiliki SIM) mutlak diperlukan.
Dengan kesadaran kolektif dan pengawasan yang ketat terhadap tiga faktor yang paling diabaikan kecepatan, fokus, dan APD diharapkan angka kecelakaan yang melibatkan pelajar dapat ditekan secara signifikan, demi masa depan yang lebih aman di jalan raya Indonesia.