GMNI Pecat Resbob Usai Hina Suku Sunda, Kasus Berlanjut ke Ranah Hukum

PETA NARASI – Organisasi kemahasiswaan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) mengambil langkah tegas dengan memecat kadernya, YouTuber Muhammad Adimas Firdaus Putra Nasihan, atau dikenal sebagai Resbob, setelah ujaran kebencian yang ditujukan kepada suku Sunda dan kelompok suporter Persib Bandung, Viking, viral di media sosial. Keputusan ini diambil menyusul gelombang kritik publik dan tekanan hukum yang semakin menguat di berbagai lapisan masyarakat.

Pemecatan Resbob oleh GMNI

GMNI secara resmi mengeluarkan Resbob dari keanggotaan organisasi. Langkah itu tertuang dalam surat Dewan Pengurus Komisariat (DPK) GMNI Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) bernomor 038/Int/DPK.GMNI-UWKS/XII/2025. Dalam surat tersebut ditegaskan bahwa Resbob diberhentikan secara tidak hormat sebagai kader GMNI. Keputusan tersebut berlaku setelah Resbob dianggap melakukan pelanggaran berat terhadap nilai-nilai organisasi yang menjunjung tinggi persatuan dan nilai kebangsaan.

Ketua DPC GMNI Surabaya, Virgiawan Budi Prasetyo, menegaskan bahwa tindakan Resbob sama sekali tidak mencerminkan sikap dan pandangan GMNI. Menurutnya, GMNI menjunjung tinggi nilai persatuan dan menolak segala bentuk diskriminasi, termasuk yang berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), sesuai dengan ideologi gerakan Marhaenisme yang menjadi landasan organisasinya.

Konteks dan Isi Ujaran Kebencian

Resbob menjadi sorotan publik karena ujaran yang dilontarkan dalam sebuah siaran langsung di media sosial, di mana ia menyampaikan kata-kata yang dianggap menghina suku Sunda dan komunitas pendukung Persib Bandung, Viking. Rekaman tersebut menyebar luas dan memicu kecaman dari berbagai pihak.

Selain itu, ujaran tersebut juga mengandung hinaan terhadap kelompok suporter, yang menurut banyak pihak melewati batas ekspresi biasa dan masuk pada ranah ujaran kebencian yang berpotensi memecah belah masyarakat. Konten semacam ini mendapat reaksi keras karena dinilai mengancam harmoni sosial di tengah keberagaman etnis di Indonesia.

Proses Hukum dan Penangkapan

Kasus yang melibatkan Resbob tidak hanya berakhir pada pemecatan organisasi. Aparat penegak hukum Polda Jawa Barat (Jabar) telah menangkap Resbob setelah beberapa hari pelarian. Ia sempat berpindah-pindah dari Jawa Timur hingga Jawa Tengah sebelum akhirnya diamankan oleh penyidik di Semarang. Setelah penangkapannya, Resbob dibawa ke Jakarta untuk pemeriksaan awal dan direncanakan akan dipindahkan ke Bandung untuk proses penyidikan lanjutan oleh Ditreskrimsus Polda Jabar.

Resbob juga menghadapi ancaman hukuman hingga enam tahun penjara atas dugaan pelanggaran hukum terkait ujaran kebencian. Penyidik menilai konten yang diunggahnya melanggar pasal-pasal yang tercantum dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 

Sebelumnya, Resbob juga dilaporkan ke Polda Metro Jaya, di mana laporan tersebut mencakup dugaan pelanggaran pasal ITE dan penghinaan terhadap kelompok etnis tertentu. Proses pelaporan ini menunjukkan bahwa kasus ini ditangani secara lintas wilayah hukum, mengingat dampaknya telah menjalar ke publik luas.

Reaksi Publik dan Tokoh Politik

Kasus Resbob mendapat sorotan tidak hanya dari organisasi mahasiswa dan aparat kepolisian, tetapi juga dari tokoh politik dan masyarakat luas. Beberapa politisi dari partai besar mengecam tindakan tersebut sebagai ancaman serius terhadap persatuan nasional. Mereka menegaskan bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh dijadikan alasan untuk menyebarkan ujaran yang merendahkan identitas etnis tertentu atau kelompok masyarakat manapun.

Salah satu tokoh politik menyatakan bahwa tindakan penghinaan terhadap suku Sunda merupakan perilaku yang tidak pantas dan berbahaya, serta meminta aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti kasus ini secara profesional. Pernyataan seperti ini mencerminkan kekhawatiran publik mengenai dampak ujaran kebencian dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia.

Dampak Terhadap Masyarakat dan Organisasi

Insiden ini memicu diskusi lebih luas tentang tanggung jawab konten kreator di era digital. Banyak pihak menilai bahwa pelaku konten daring memiliki kewajiban moral dan sosial untuk tidak menyebarkan konten yang dapat menyulut kebencian atau diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana ujaran yang tidak bertanggung jawab bisa berujung pada konsekuensi serius baik secara hukum, sosial, maupun profesional.

GMNI sendiri berharap keputusan pemecatan ini menjadi peringatan tegas bahwa organisasi tidak akan mentolerir tindakan yang bertentangan dengan prinsip persatuan dan nilai-nilai kebangsaan. Langkah ini juga dimaksudkan untuk menjaga reputasi organisasi dan mempertegas komitmennya terhadap prinsip anti-SARA.

By admin