PETA NARASI – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara resmi menetapkan Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi suap ijon proyek di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Penetapan ini menjadi sorotan publik karena usia Ade yang masih 32 tahun dan memiliki kekayaan pribadi mencapai puluhan miliar rupiah, namun tetap terjerat praktik korupsi dalam jabatan publiknya.
Pada 18 Desember 2025, tim penyidik KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di wilayah Kabupaten Bekasi yang mengamankan sekitar 10 orang termasuk Ade Kuswara, ayahnya HM Kunang, serta beberapa pihak swasta yang diduga terlibat dalam aliran uang suap. OTT ini merupakan gambaran terkini dari upaya KPK dalam memberantas korupsi kepala daerah, di tengah meningkatnya kasus yang melibatkan pejabat publik di berbagai daerah.
Dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih, Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyatakan bahwa Ade dan ayahnya telah memenuhi syarat alat bukti sehingga dijadikan tersangka bersama pihak swasta berinisial SRJ. Ade dan HMK (ayahnya) ditetapkan sebagai penerima suap, sedangkan SRJ sebagai pemberi suap yang diduga terkait proyek pembangunan di lingkungan pemerintahan Kabupaten Bekasi. KPK lalu menahan ketiganya untuk 20 hari pertama sejak 20 Desember 2025.
Berdasarkan hasil penyelidikan dan penghitungan sementara oleh KPK, Ade Kuswara diduga menerima total Rp14,2 miliar sepanjang masa jabatannya termasuk uang ijon proyek sekitar Rp9,5 miliar dan penerimaan lain dari sejumlah pihak sekitar Rp4,7 miliar. Ini bukan hanya sekadar angka besar, tetapi juga menunjukkan praktik korupsi sistemik yang terkait dengan proyek pemerintah daerah.
Ade Kuswara, yang baru dilantik sebagai bupati pada Februari 2025 usai Pilkada 2024, menjadi salah satu kepala daerah termuda yang terjerat OTT. Fakta tersebut menciptakan kegelisahan di publik dan di tubuh aparat penegak hukum sendiri. Banyak pihak bertanya: bagaimana seorang pemimpin muda serta relatif mapan secara finansial bisa tergoda melakukan tindakan yang merugikan masyarakat dan negara?
Komentar dari Eks Penyidik KPK
Menanggapi kasus ini, mantan penyidik KPK Yudi Purnomo Harahap mengatakan bahwa status sosial, usia muda, atau kekayaan bukanlah jaminan seseorang akan bebas dari godaan korupsi. Ia menekankan bahwa “integritas” adalah faktor utama dalam pencegahan korupsi, dan tanpa integritas, seseorang tidak peduli umur atau status ekonominya dapat tergelincir ke dalam perilaku koruptif.
Menurut Yudi, praktik OTT yang terus terjadi menunjukkan bahwa korupsi masih sangat marak dan bahkan berakar dalam sistem pemerintahan daerah. Ia menyoroti fenomena jual-beli jabatan, sistem ijon proyek, serta tekanan finansial dalam kampanye politik sebagai beberapa faktor yang memicu korupsi di kalangan pejabat. Menurutnya, beban biaya kampanye yang tinggi sering membuat pejabat memperkirakan cara “balik modal” setelah terpilih, yang kemudian mendorong praktik tidak etis seperti suap proyek dan pungutan liar.
Lebih lanjut, Yudi juga menyoroti peran keluarga dalam kasus ini. Ia mencatat bahwa hubungan kekerabatan seperti antara Ade dan ayahnya tidak seharusnya menjadi alat untuk memperkuat praktik korupsi, tetapi pada kenyataannya, hubungan itu justru dimanfaatkan sebagai jaringan untuk memuluskan penerimaan suap dan aliran uang dari pihak swasta.
Reaksi Publik dan Permintaan Maaf Bupati
Setelah ditetapkan tersangka dan ditahan oleh KPK, Ade Kuswara sempat mengeluarkan pernyataan meminta maaf kepada masyarakat Kabupaten Bekasi. Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan permohonan maaf kepada warga atas kejadian yang menimpanya, namun belum menjelaskan detail motivasi atau alasan lain di balik tindakan yang dituduhkan.
Permintaan maaf ini memicu reaksi beragam di kalangan masyarakat Bekasi dan pengamat pemerintahan. Sebagian publik menilai permintaan maaf tidak cukup tanpa pertanggungjawaban yang kuat di proses hukum. Sementara itu, kalangan lain melihat bahwa pernyataan itu bisa menjadi langkah awal untuk menerima proses hukum yang sedang berjalan.
Signifikansi Kasus untuk Pemberantasan Korupsi
Kasus Ade Kuswara merupakan cerminan betapa kompleksnya pemberantasan korupsi di Indonesia, terutama di level pemerintahan daerah. Meskipun ada aturan dan lembaga yang kuat seperti KPK, praktik korupsi masih terus muncul, termasuk di kalangan pejabat muda yang secara finansial tidak minim. Ini mempertegas bahwa pencegahan korupsi bukan hanya soal aturan, tetapi juga soal budaya integritas, transparansi, dan pengawasan yang efektif.
Para ahli hukum dan pemerintahan mengingatkan bahwa setiap kasus korupsi kepala daerah memiliki dampak luas, memperlemah kepercayaan publik kepada sistem demokrasi dan pelayanan publik, serta menghambat pembangunan daerah yang adil dan berkelanjutan. Kasus ini kemungkinan akan menjadi bahan evaluasi nasional terkait praktik pilkada, pembiayaan politik, dan mekanisme transparansi proyek pemerintah di tingkat daerah.