PETA NARASI – Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia yang jatuh setiap tanggal 10 Desember kerap menjadi momentum bagi berbagai elemen masyarakat, mulai dari mahasiswa, buruh, hingga aktivis, untuk menyuarakan tuntutan dan kritik terhadap isu-isu kemanusiaan. Namun, menjelang aksi demonstrasi besar yang telah direncanakan di berbagai kota, khususnya di Ibu Kota, muncul isu dan peringatan serius mengenai adanya “penumpang gelap” atau dalang yang berupaya menyusup dan memprovokasi kerusuhan. Isu ini mencuat setelah sejumlah insiden demonstrasi sebelumnya yang berujung ricuh dan menimbulkan korban jiwa serta kerusakan fasilitas umum.
Waspada ‘Penumpang Gelap’ dan Upaya Provokasi
Kekhawatiran akan adanya upaya eskalasi aksi damai menjadi kerusuhan bukan tanpa dasar. Pengalaman aksi massa pada Agustus dan September 2025 lalu di Jakarta dan beberapa daerah, yang menelan korban jiwa hingga 10 orang dan menyebabkan pembakaran sejumlah kantor polisi serta kantor DPRD, menjadi preseden kelam yang harus dihindari. Dalam konteks peringatan Hari HAM 10 Desember, aparat keamanan dan aktivis sendiri telah mengeluarkan imbauan agar masyarakat tetap waspada terhadap pihak-pihak yang sengaja ingin merusak agenda damai.
Sejumlah pihak, termasuk Gerakan Mahasiswa Jakarta, telah meminta aparat untuk menindak tegas oknum pemicu kerusuhan agar aksi Hari HAM Sedunia dapat berlangsung secara terdidik dan bijaksana. Peringatan ini mengindikasikan bahwa potensi provokasi untuk menciptakan kekacauan di tengah keramaian massa adalah ancaman nyata.
Spekulasi dan Penyelidikan Terhadap Aktor Intelektual
Pertanyaan besar yang masih menjadi teka-teki adalah: Siapa sebenarnya sosok dalang atau aktor intelektual di balik rencana kerusuhan ini?
Dalam kasus-kasus kericuhan sebelumnya, kepolisian telah melakukan penangkapan terhadap sejumlah aktivis atau pegiat demokrasi dan HAM dengan tuduhan sebagai provokator. Salah satu nama yang sempat disorot adalah Delpedro, seorang aktivis yang ditangkap pasca-demonstrasi Agustus 2025. Namun, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sendiri sempat menyatakan keraguannya bahwa Delpedro adalah dalang utama kerusuhan tersebut.
Keraguan Komnas HAM ini membuka spekulasi bahwa aktor intelektual di balik upaya kerusuhan mungkin adalah jaringan yang lebih terorganisir, memiliki agenda politik terselubung, atau bahkan pihak-pihak yang ingin mendiskreditkan gerakan mahasiswa dan aktivis HAM. Motif-motif yang diduga melatarbelakangi upaya provokasi kerusuhan ini antara lain:
- Mengalihkan Isu: Mengalihkan perhatian publik dari tuntutan inti para demonstran, yang umumnya berkaitan dengan isu-isu pelanggaran HAM, penegakan hukum, dan kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan rakyat.
- Mendiskreditkan Demokrasi: Menciptakan citra buruk terhadap gerakan unjuk rasa damai, sehingga publik menilai bahwa aksi massa selalu berujung anarkis, yang pada akhirnya dapat melemahkan kebebasan berekspresi dan berpendapat.
- Kepentingan Politik: Adanya unsur politik dari kelompok tertentu yang ingin memanfaatkan momentum aksi massa untuk tujuan destabilisasi atau menciptakan kegaduhan demi meraih keuntungan politik.
Langkah Tegas Aparat dan Keterlibatan Lembaga HAM
Menyikapi potensi kerusuhan, pihak kepolisian telah menyatakan akan mengusut tuntas dalang di balik upaya kericuhan. Kabid Humas Polda Metro Jaya telah mengonfirmasi bahwa pelaku-pelaku provokasi mulai teridentifikasi. Penyelidikan ini diharapkan dapat mengungkap jaringan atau individu yang berencana mengganggu ketertiban umum pada Hari HAM.
Selain itu, pasca-kerusuhan yang terjadi sebelumnya, enam lembaga nasional HAM telah membentuk tim independen pencari fakta untuk menginvestigasi insiden unjuk rasa yang berujung ricuh dan menelan korban jiwa. Pembentukan tim ini bertujuan untuk memastikan adanya investigasi yang transparan dan akuntabel. Hasil investigasi tim independen ini sangat krusial, karena dapat memberikan gambaran yang lebih jernih mengenai pola dan aktor di balik provokasi kerusuhan, yang mungkin saja berulang pada aksi 10 Desember.
Seruan untuk Aksi Damai dan Bijaksana
Di tengah bayang-bayang potensi kericuhan, seruan untuk menjaga aksi damai terus menggema. Para aktivis menekankan pentingnya menyampaikan aspirasi secara tertib, terdidik, dan bijaksana, serta tidak mudah terprovokasi. Menghormati Hari HAM Sedunia berarti juga menjunjung tinggi hak-hak dasar, termasuk hak untuk berpendapat, namun harus dilakukan tanpa melanggar hak-hak orang lain dan merusak fasilitas umum.
Aksi damai pada 10 Desember 2025 nanti akan menjadi ujian penting bagi kedewasaan demokrasi di Indonesia, sekaligus penantian akan terungkapnya sosok misterius yang berupaya mengganggu ketertiban.