PETA NARASI – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, kembali menarik perhatian publik dengan pandangannya yang tegas mengenai format demokrasi yang paling sesuai untuk Indonesia. Dalam beberapa kesempatan, termasuk pidato dan pernyataan kepada media, Presiden Prabowo secara konsisten menyuarakan bahwa Indonesia harus mengembangkan sistem politiknya berdasarkan jati diri dan nilai-nilai luhur bangsa sendiri, menolak anggapan bahwa model demokrasi liberal Barat harus diterapkan secara mentah-mentah.
Pernyataan kunci, “Belum tentu demokrasi di Barat cocok sama kita,” menjadi refleksi atas kritiknya terhadap aspek-aspek tertentu dalam praktik demokrasi saat ini, khususnya yang cenderung menimbulkan perpecahan, bersifat “ribut-ribut,” dan berbiaya tinggi.
Kritik Terhadap Demokrasi High Cost dan Konflik
Salah satu poin utama yang sering disoroti oleh Presiden Prabowo adalah tingginya biaya politik dan proses pemilihan umum langsung yang dianggapnya “melelahkan.” Dalam sebuah forum investasi, beliau pernah menyatakan bahwa demokrasi memang mahal dan masih banyak hal yang harus diperbaiki. Kritik ini disambut baik oleh beberapa tokoh politik yang melihatnya sebagai isyarat penting untuk mengevaluasi kembali sistem pemilu.
Prabowo berpandangan bahwa proses demokrasi yang terlalu liberal, yang ia indikasikan sebagai sistem yang high cost dan terkadang menghalalkan segala cara, seringkali lebih besar mudaratnya daripada manfaat daulat rakyat yang ingin dicapai. Fenomena politik uang dan potensi konflik horizontal yang muncul di setiap pemilu menjadi perhatian serius. Baginya, pemilu hanyalah alat, dan yang lebih penting adalah kualitas kepemimpinan nasional yang dihasilkan, bukan hanya mekanisme demokrasinya semata.
Demokrasi Khas Indonesia: Sejuk dan Kekeluargaan
Sebagai antitesis dari model Barat yang dianggapnya rentan konflik, Presiden Prabowo mendorong lahirnya “Demokrasi Khas Indonesia” yang bercirikan kekeluargaan, kerukunan, dan kerja sama.
Menurutnya, model yang dianut Indonesia haruslah yang “sejuk” dan “mempersatukan.” Dalam konteks ini, beliau menekankan pentingnya budaya “habis bertanding, kompak kembali.” Filosofi ini terlihat jelas dalam semangat persatuan yang ia tegaskan selama transisi kepemimpinan nasional dari Presiden Joko Widodo. Transisi yang berjalan lancar dan penuh kehormatan ini bahkan disebutnya sebagai contoh kedewasaan politik yang diakui oleh dunia internasional, di mana banyak pemimpin negara sahabat bertanya, “How did Indonesia manage?”
Presiden Prabowo menyimpulkan bahwa keberhasilan itu terletak pada kepatuhan Indonesia terhadap demokrasinya sendiri, yakni demokrasi yang tidak bermusuhan dan mengedepankan kerukunan.
Pengawasan Kekuasaan dan Pentingnya Kritik
Meskipun mengkritik aspek liberal yang menimbulkan perpecahan, Presiden Prabowo tetap secara tegas menjunjung tinggi prinsip penting dalam negara modern: pengawasan terhadap kekuasaan. Beliau mengingatkan bahwa dalam sejarah umat manusia, kekuasaan yang tidak diawasi akan menjadi korup, dan kekuasaan yang absolut akan menjadi korup secara absolut.
Sejalan dengan hal tersebut, Presiden Prabowo juga mengakui pentingnya kritik sebagai bagian integral dari demokrasi. Ia bahkan mengaku kerap menyempatkan diri menyimak berbagai kritik di media sosial dan mencatatnya sebagai bahan koreksi. Baginya, kritik dan koreksi itu harus ada, dan seorang pemimpin tidak boleh terjebak pada emosi pribadi atau rasa sakit hati saat dikritik. Filosofi ini menunjukkan bahwa pandangan Prabowo bukan hanya tentang menolak sistem Barat, tetapi juga tentang memurnikan praktik demokrasi di Indonesia agar lebih efektif, efisien, dan sesuai dengan Pancasila serta UUD 1945.
Dengan menempatkan jati diri bangsa sebagai fondasi, Presiden Prabowo berupaya mengarahkan politik Indonesia menuju sistem yang stabil, berorientasi pada hasil nyata, dan bebas dari gejolak perpecahan yang menghabiskan energi. Beliau mengajak seluruh elemen bangsa untuk fokus pada tantangan masa kini dan masa depan, serta selalu berpihak kepada rakyat.